Saturday, August 22, 2015

SAJAK SENJA KALA FAJAR



Memang, kala itu mega merah belum siap singgah benar di seantero tanah merah. Angin sendalu masih terasa melatuk gigi,   senyap sunyi menusuk belulang. Dari balik gunung, halimun serasa menyesatkan,  hingga gemerasak belukar liar dan gelisik daun mahogany seakan menyimpan misteri di setiap melodi risiknya.
            Dia keluar, mengedar pandangan pada tiap penjuru mata angin, membasuhi wajah, lengan, kepala dan kaki, lalu mengulangi ritual sebelumnya, kali ini lebih saksama. Tak tampak apapun olehnya. Sia-sia. Ia sembahyang sambil menahan prasangka, syak-wasangka.
            Usai. Ia termenung, bertelekan tangan, menopang dagu,  menerawang jauh. Benaknya tak akan lepas dari lekak-lekuk tinta aide memoire wanita misterius senja lalu.


*          *          *          *          *

Malam itu takkan kulupakan. Suamiku sudah bertekad,  maka takkan ada seorang pun yang bisa menghalanginya. Aku pun terdiam bisu.Angin-angin bertiup seirama menyayat hati. Daun-daun bergoyang bak tarian  sayonara. Aku pun dilematis. Sumirat cahaya memantulkan siluet wajahku di  mirat. Aku menangis, pedih,  menyedihkan. Wajah jelitaku kini baur dengan pilu pelan.
Bagiku itu semua tak ada artinya jika memikirkan apa yang akan kauderita, oh anakku. Kau … anakku sayang, bunda hanya bias berpesan padamu : Jaga diri baik-baik !. Kau masih kecil, lima tahun, bisa apa kau.  Aku, ibumu,  menyayangimu dan mencintaimu sepenuh hati. Meniggalkanmu bukan berarti tak sayang. Ini semua demi kau.Aku tak pandai mengarang kata  untuk membuatmu percaya.
Aku hanya bisa memberinya kecupan sayang terakhir dari bundanya ini. Menatapnya lekat, lalu memeluknya. Aku takkan rela melepasnya,  sampai kapan pun. Hatiku takkan pernah terpisah barang sedetik pun, sejarak  pun. Kasihku sepanjan jalan yang kutempuh, tak berujung.Selamat jalan.
            Titik jauh itu hilang sudah. Kini hanya suamiku disampingku. Aku akan menemaninya bahkan hingga ujung dunia dan masa akhir. Tanah air, masa kecilku pendam dalam. Suamiku memegang erat tanganku seakan takkan dilepasnya sampai kapanpun. Mata teduhnya memandangku penuh arti, mungkin itu satu-satunya pohon teduhanku di duniakini.
            Satu-satunya kenangan  yang tersisa adalah anak bertanda lahir kemerah-merahan-di-leher-pundak-kananitu.Buah cintaku satu-satunya.Bagiku, impresi terindah adalah saat melahirkannya.

*          *          *          *          *

            Dia masih termenug diam. Mega sudah timbul di awang-awang.Burung sudah bersahut-sahutan.Embun-embun tak henti membasuh daun-daun mahogany membuatnya semakin memerah indah.Seindah hari-hari yang telah dilaluinya saat kecil hingga “hariitu”. Kini ia memusatkan segala memoarnya, menembus cangkang-cangkang waktu semesta. Tertegun.

*          *          *          *          *

            Saat itu, suamiku dengan setia mendampingiku. Dokter mengenakan sarung tangannya. Sungguh payah diriku. Suamiku memahami keadaanku seakan dialah satu-satunya orang yang memahamiku.Dokter terus memaksaku mengejan kuat-kuat dengan sisa napas dan tenagaku. Suamiku terus menatapku penuh arti, menyemangati diriku yang gundah-gulana, gelisah, dan khawatir, sambil memberiku air pengusir dahaga. Haus.Aku kehabisan tenaga.Dengan tenaga terakhirku, aku… ah aku mendengar tangisan bayi itu.Sungguh riang.Sebentar, lalu lenyap.
            Saat ku terbangun, kulihat suamiku menggenggam tangannya sendiri erat-erat.Matanya terpejam, sembap, merah.Lingkaran hitam menghiasi kantungmatanya.Rambutnya berntakan, jika aku tak merapikannya. Aku meraihnya, menyeka pelupuk matanya, tersenyum padanya.
            Suster itu datang menimang bayiku, meminta maaf, mengatakan sesuatu. TIDAK! Aku tak mendengarnya. Ya, pasti itu mimpi buruk.Pasti aku sedang tidak sadar. Aku menggenggam tanganku, bukan, tangan suamiku. Ia memelukku, membenamkan kepalaku di dadanya. Ini nyata.
            Tidak! Aku merasakannya. Detaknya, napasnya, nadinya, tersengal-sengal di dadaku, dalam jarik gendonganku. Tertidur pulas .Begitu damai wajahnya, hatinya, senyumnya.Ia masih disini. Aku melepaskan pelukan suamiku, bangun menahan segala sakit yang ada.Meraih bayiku dari sang suster. Menimag-nimangnya.Tak berdetak.Aku pingsan.
            Lagi-lagi aku terbangun, samar-samar kudengar rengekan bayi. Kali ini nyata. Aku menatap bayi itu penuh takjubdan kagum. Bayi ini mengepal ngepal tangannya. Matanya terpejam. Ia menjulur-julurkan lidah mungilnya. Seluruh tubuhnya masih terbalut merah. Kupeluk erat ia. Kubelai ia lembut.
Bagiku ia wujud terbesar yang pernah Tuhan berikan dalam seluruh hidupku.

*          *          *          *          *

Kini ia tak lagi bias menahan embun matanya berjatuhan. Entah apa yang ia tangisi. Terkesan melankolis memang. Sungguh berlawanan dengan kesannya selama ini. Ekspresinya tak lagi dingin, beku bagai es, mencair bergelombang menimbulkan buih-buih hati kecilnya. Sorotnya tak lagi tajam menusuk. Hanya ada sendu teduh. Hati sanubarinya terkoyak-koyak, berderak menjadi pecahan mosaik hidup dilatasi waktu.

*          *          *          *          *

Satu-satunya kenangan yang tersisa adalah anak bertanda lahir kemerah-merahan-di-leher-pundak-kanan itu. Buah cintaku satu-satunya. Bagiku, impresi terindah adalah saat melahirkannya.
Satu-satunya kenangan yang tersisa adalah anak bertanda lahir kemerah-merahan-di-leher-pundak-kanan itu.
… anak bertanda lahir kemerah-merahan-di-leher-pundak-kanan itu.
… kemerah-merahan-di-leher-pundak-kanan …

*          *          *          *          *

Senja itu, kala ia pulang dari kota. Ia mengayuh pelan sepeda onthelnya. Pelan saja. Mendengar suara alam riuh rendah di segala penjuru seakan menyambut sang pemuda yang berumur dua dasa warsa, yang telah hidup sebatang kara semenjak nininya berpulang beberapa tahun lalu. Nininyalah yang mengasuhnya. Ibunya pergi meninggalkannya dahulu kecil.
Ia taruh tunggangan sehari-harinya di samping rumah peninggalan mendiang nininya itu.lalu melangkah, menapaki tangga rumah, lalu terdiam. Mmengedar pandangan ke segala penjuru sebelum masuk sambil mengucap salam ke penghuni lainnya. Saat itulah, sesaat sebelum menutup pintu dengan sempurna. Wanita itu muncul.
Hal munculnya wanita itu sangat mengejutkannya. Wanita itu muncul begitu saja dari arah terbenamnya matahari, di ufuk barat, membuatnya samar-samar tipis diantara berlaksa pohon ek, hanya tertinggal siluet tubuhnya. Wanita itu berjalan anggun bak  malaikat turun dari aras. Wanita itu berjalan menuju sang pemuda, yang memperkenankannya masuk. Meninggalkan pemuda itu termenung.
Wangi parfum wanita tersebutlah yang membuatnya termenung. Wangi itu, parfum itu, terasa  pernah sangat akrab. Ia yakin akan hal itu, tapi entah kapan. Sesaat setelahnya, ia dapati dan ia pungut secarik kertas tersebut, kertas penuh misteri wanita misterius itu.

*          *          *          *          *

Kini fajar telah menyingsing. Ayam-ayam di kampong tak lelah berkokok. Sepia melingkupi bimu biru sendu. Busur horizon oranye menyembul malu-malu. Hari akan mulai bangkit.
Nalarnya mulai berjalan melintasi cangkang-cangkang waktu nisbi. Hatinya berguncan penuh gelisah. Misteri sang wanita dengan raut wajah teduh empat puluh tahunan telah usai mengerumuni akal sehatnya. Kesadarannya penuh sempurna. Diambilnya sepeda, menggertak batu jalanan. Tak lagi dipedulikannya suara alam. Segalanya bisu menyaksikannya.
Angin pengarak pagi bertiup  mengedarkan hawa sejuknya. Menyingkap, menyibak kain leher pemuda itu. Tepat di bawah telinga kanan pemuda itu, tanda merah itu muncul. Membuncah seiring mimpi masa kecil itu kian nyata.
Di ujung jalan itu, di ufuk timur, tempat matahari terbit. Pemuda tersebut berhenti, tepatnya terhenti, terpana, tercengang, takjub. Jauh di titik nadir, batas horizon cakrawala. Siluet anggun itu tersenyum padanya seakan menunggunya sekian lama, merntangkan tangannya seakan siap memeluknya. Cakrawala seakan mencerminkan sinar kasihnya yang tak pernah padam, menghangatkan relung hati sang pemuda kesepian.
Kan malaikat senjanya.

*          *          *          *          *

Hidup mulai berjalan mundur. Mengkhianati waktu yang telah usang. Masa yang telah lama lekang, kembali. L’histoire se repete.

*          *          *          *          *


0 comments:

Post a Comment