Memang, kala itu mega merah belum siap singgah benar
di seantero tanah merah. Angin sendalu masih terasa melatuk gigi, senyap sunyi menusuk belulang. Dari balik gunung,
halimun serasa menyesatkan, hingga gemerasak
belukar liar dan gelisik daun mahogany
seakan menyimpan misteri di setiap melodi risiknya.
Dia keluar,
mengedar pandangan pada tiap penjuru mata angin, membasuhi wajah, lengan,
kepala dan kaki, lalu mengulangi ritual sebelumnya, kali ini lebih saksama. Tak
tampak apapun olehnya. Sia-sia. Ia sembahyang sambil menahan prasangka,
syak-wasangka.
Usai.
Ia termenung, bertelekan tangan, menopang dagu, menerawang jauh. Benaknya tak akan lepas dari lekak-lekuk
tinta aide memoire wanita misterius senja
lalu.
* * * * *
Malam
itu takkan kulupakan. Suamiku sudah bertekad, maka takkan ada seorang pun yang bisa menghalanginya.
Aku pun terdiam bisu.Angin-angin bertiup seirama menyayat hati. Daun-daun bergoyang
bak tarian sayonara. Aku pun dilematis. Sumirat
cahaya memantulkan siluet wajahku di mirat.
Aku menangis, pedih, menyedihkan. Wajah jelitaku
kini baur dengan pilu pelan.
Bagiku
itu semua tak ada artinya jika memikirkan apa yang akan kauderita, oh anakku.
Kau … anakku sayang, bunda hanya bias berpesan padamu : Jaga diri baik-baik !.
Kau masih kecil, lima tahun, bisa apa kau. Aku, ibumu, menyayangimu dan mencintaimu sepenuh hati. Meniggalkanmu
bukan berarti tak sayang. Ini semua demi kau.Aku tak pandai mengarang kata untuk membuatmu percaya.
Aku
hanya bisa memberinya kecupan sayang terakhir dari bundanya ini. Menatapnya lekat,
lalu memeluknya. Aku takkan rela melepasnya, sampai kapan pun. Hatiku takkan pernah terpisah
barang sedetik pun, sejarak pun. Kasihku
sepanjan jalan yang kutempuh, tak berujung.Selamat jalan.
Titik jauh itu hilang sudah. Kini hanya suamiku
disampingku. Aku akan menemaninya bahkan hingga ujung dunia dan masa akhir.
Tanah air, masa kecilku pendam dalam. Suamiku memegang erat tanganku seakan takkan
dilepasnya sampai kapanpun. Mata teduhnya memandangku penuh arti, mungkin itu satu-satunya
pohon teduhanku di duniakini.
Satu-satunya kenangan yang tersisa adalah anak bertanda lahir kemerah-merahan-di-leher-pundak-kananitu.Buah
cintaku satu-satunya.Bagiku, impresi terindah adalah saat melahirkannya.
* * * * *
Dia masih
termenug diam. Mega sudah timbul di awang-awang.Burung sudah bersahut-sahutan.Embun-embun
tak henti membasuh daun-daun mahogany membuatnya semakin memerah indah.Seindah
hari-hari yang telah dilaluinya saat kecil hingga “hariitu”. Kini ia memusatkan
segala memoarnya, menembus cangkang-cangkang waktu semesta. Tertegun.
* * * * *
Saat itu, suamiku dengan setia mendampingiku.
Dokter mengenakan sarung tangannya. Sungguh payah diriku. Suamiku memahami keadaanku
seakan dialah satu-satunya orang yang memahamiku.Dokter terus memaksaku mengejan
kuat-kuat dengan sisa napas dan tenagaku. Suamiku terus menatapku penuh arti,
menyemangati diriku yang gundah-gulana, gelisah, dan khawatir, sambil memberiku
air pengusir dahaga. Haus.Aku kehabisan tenaga.Dengan tenaga terakhirku, aku…
ah aku mendengar tangisan bayi itu.Sungguh riang.Sebentar, lalu lenyap.
Saat ku terbangun, kulihat suamiku menggenggam tangannya sendiri
erat-erat.Matanya terpejam, sembap, merah.Lingkaran hitam menghiasi kantungmatanya.Rambutnya
berntakan, jika aku tak merapikannya. Aku meraihnya, menyeka pelupuk matanya,
tersenyum padanya.
Suster itu datang menimang bayiku, meminta maaf,
mengatakan sesuatu. TIDAK! Aku tak mendengarnya. Ya, pasti itu mimpi buruk.Pasti
aku sedang tidak sadar. Aku menggenggam tanganku, bukan, tangan suamiku. Ia memelukku,
membenamkan kepalaku di dadanya. Ini nyata.
Tidak! Aku merasakannya. Detaknya, napasnya, nadinya,
tersengal-sengal di dadaku, dalam jarik gendonganku. Tertidur pulas .Begitu damai
wajahnya, hatinya, senyumnya.Ia masih disini. Aku melepaskan pelukan suamiku,
bangun menahan segala sakit yang ada.Meraih bayiku dari sang suster.
Menimag-nimangnya.Tak berdetak.Aku pingsan.
Lagi-lagi aku terbangun, samar-samar
kudengar rengekan bayi. Kali ini nyata. Aku menatap bayi itu penuh takjubdan
kagum. Bayi ini mengepal ngepal tangannya. Matanya terpejam. Ia
menjulur-julurkan lidah mungilnya. Seluruh tubuhnya masih terbalut merah.
Kupeluk erat ia. Kubelai ia lembut.
Bagiku ia wujud terbesar yang pernah Tuhan berikan
dalam seluruh hidupku.
* * * * *
Kini ia tak lagi bias
menahan embun matanya berjatuhan. Entah apa yang ia tangisi. Terkesan
melankolis memang. Sungguh berlawanan dengan kesannya selama ini. Ekspresinya
tak lagi dingin, beku bagai es, mencair bergelombang menimbulkan buih-buih hati
kecilnya. Sorotnya tak lagi tajam menusuk. Hanya ada sendu teduh. Hati
sanubarinya terkoyak-koyak, berderak menjadi pecahan mosaik hidup dilatasi
waktu.
* * * * *
Satu-satunya kenangan yang tersisa adalah anak
bertanda lahir kemerah-merahan-di-leher-pundak-kanan itu. Buah cintaku
satu-satunya. Bagiku, impresi terindah adalah saat melahirkannya.
Satu-satunya kenangan yang tersisa adalah anak
bertanda lahir kemerah-merahan-di-leher-pundak-kanan itu.
… anak bertanda lahir
kemerah-merahan-di-leher-pundak-kanan itu.
… kemerah-merahan-di-leher-pundak-kanan …
* * * * *
Senja itu, kala ia pulang
dari kota. Ia mengayuh pelan sepeda onthelnya. Pelan saja. Mendengar suara alam
riuh rendah di segala penjuru seakan menyambut sang pemuda yang berumur dua
dasa warsa, yang telah hidup sebatang kara semenjak nininya berpulang beberapa
tahun lalu. Nininyalah yang mengasuhnya. Ibunya pergi meninggalkannya dahulu
kecil.
Ia taruh tunggangan
sehari-harinya di samping rumah peninggalan mendiang nininya itu.lalu
melangkah, menapaki tangga rumah, lalu terdiam. Mmengedar pandangan ke segala
penjuru sebelum masuk sambil mengucap salam ke penghuni lainnya. Saat itulah,
sesaat sebelum menutup pintu dengan sempurna. Wanita itu muncul.
Hal munculnya wanita itu
sangat mengejutkannya. Wanita itu muncul begitu saja dari arah terbenamnya
matahari, di ufuk barat, membuatnya samar-samar tipis diantara berlaksa pohon
ek, hanya tertinggal siluet tubuhnya. Wanita itu berjalan anggun bak malaikat turun dari aras. Wanita itu berjalan
menuju sang pemuda, yang memperkenankannya masuk. Meninggalkan pemuda itu
termenung.
Wangi parfum wanita
tersebutlah yang membuatnya termenung. Wangi itu, parfum itu, terasa pernah sangat akrab. Ia yakin akan hal itu,
tapi entah kapan. Sesaat setelahnya, ia dapati dan ia pungut secarik kertas
tersebut, kertas penuh misteri wanita misterius itu.
* * * * *
Kini fajar telah menyingsing.
Ayam-ayam di kampong tak lelah berkokok. Sepia melingkupi bimu biru sendu.
Busur horizon oranye menyembul malu-malu. Hari akan mulai bangkit.
Nalarnya mulai berjalan
melintasi cangkang-cangkang waktu nisbi. Hatinya berguncan penuh gelisah.
Misteri sang wanita dengan raut wajah teduh empat puluh tahunan telah usai
mengerumuni akal sehatnya. Kesadarannya penuh sempurna. Diambilnya sepeda,
menggertak batu jalanan. Tak lagi dipedulikannya suara alam. Segalanya bisu
menyaksikannya.
Angin pengarak pagi
bertiup mengedarkan hawa sejuknya.
Menyingkap, menyibak kain leher pemuda itu. Tepat di bawah telinga kanan pemuda
itu, tanda merah itu muncul. Membuncah seiring mimpi masa kecil itu kian nyata.
Di ujung jalan itu, di ufuk
timur, tempat matahari terbit. Pemuda tersebut berhenti, tepatnya terhenti,
terpana, tercengang, takjub. Jauh di titik nadir, batas horizon cakrawala.
Siluet anggun itu tersenyum padanya seakan menunggunya sekian lama, merntangkan
tangannya seakan siap memeluknya. Cakrawala seakan mencerminkan sinar kasihnya
yang tak pernah padam, menghangatkan relung hati sang pemuda kesepian.
Kan malaikat senjanya.
* * * * *
Hidup mulai berjalan mundur.
Mengkhianati waktu yang telah usang. Masa yang telah lama lekang, kembali. L’histoire se repete.
* * * * *
0 comments:
Post a Comment