Mentari telah merangkak naik ke atas
ubun-ubun. Di bawah teriknya matahari,jalanan telah berubah menjadi
tempat yang padat oleh lalu lintas. Beberapa orang terlihat berjalan sambil
mengenakan masker, sebagai pelindung dari polusi-polusi yang merajalela.
Sebagian orang lain juga terlihat menunggu di bawah naungan halte bus kota,
sambil meneduhkan diri diantara terik matahari yang menyengat. Memang, siang
itu langit Riau terasa membara.
Jam
menunjukkan pukul 12.00 siang. Di seberang jalan, seorang anak berseragam
sekolah MI putih keluar melalui gang sembari menuntun sebuah sepeda. Sebentar
kemudian, dinaiki dan dipacunya sepeda itu melewati lautan kendaraan menuju
perbatasan desa. Dimana ia dan
keluarganya tinggal di sebuah rumah beralaskan lantai berwarna putih dan
didominasi oleh dinding yang berwarna hijau muda.
Dari
kejauhan, dilihatnya mobil kijang silver berhenti didepan rumahnya. “Ayah”
Gumamnya dalam hati. Segera saja, dipacunya kencang-kencang sepeda kecilnya
tanpa memperdulikan keringat yang membasahi tubuhnya. Dihempasnya sepeda itu
tepat di belakang mobil tersebut. Ia pun berlari masuk
ke dalam rumah
“Ayah,
ayah sudah pulang?” Teriaknya menghampiri seseorang yang duduk di sofa ruang
keluarga, dipeluknya tubuh orang tersebut.
“Eh
Imron, tadi barusan jam sebelas ayah datang” Jelas ayah sambil mengangkat tubuh
imron. Tiba-tiba, dari dalam dapur terdengar suara bunda “Imron, sholat dulu,
sekalian ganti baju terus makan!”
“Ayah
sudah sholat?” tanya imron.
“Alhamdulillah
sudah tadi” jawab ayah
“Ya
udah, imron sholat dulu ya, yah” Kemudian diambilnya air wudhu di pancuran
dekat dapur. Ia gantungkan baju sekolahnya dibalik pintu kamarnya
Dengan wajah polosnya, ia laksanakan sholat
dzuhur dengan segenap kemampuannya. Dalam hati, ia bersyukur ayahnya dapat
kembali berkumpul bersamanya. Karena selama ini, yang ia tahu, ayahnya sering
bepergian ke luar daerah dengan mengenakan pakaian loreng berbatik, dan hanya
pulang untuk beberapa saat. Tapi, mulai hari ini imron berharap ayahnya tak
akan pergi lagi, sehingga ia dapat terus bersama ayahnya.
**********
“Ayah
ditugaskan lagi di daerah kalimantan, tepatnya di daerah pontianak” Ayah memulai percakapan dalam makan siang
kami.
“Jadi
kapan akan berangkat lagi?” Tanya bunda
“nanti
sekitar jam setengah dua”. Imron yang pada saat itu makan, ikut
mendengarkan percakapan antara ayah dan bundanya. Ia langsung memotong “Ayah
mau pergi lagi? Kita kan baru ketemu tadi, masak harus pergi lagi?”.
“Imron
sayang, ayah cuma pergi sebentar, Cuma dua bulan kok” Terang bunda pada imron.
“Tapi
kan dua bulan itu lama” Sanggah imron
“Ya
sudah kalau begitu, imron mau minta apa? Nanti ayah belikan” Ayah mencoba untuk
memberikan pengertian.
“Nggak
mau, Imron nggak mau tahu, pokoknya ayah nggak boleh pergi lagi!” Ditinggalkan
piringnya yang masih tersisa makanan. Ia
berlari menuju kamarnya, Dihantamkan tubuhnya ke dalam bentangan
kasur, ia terisak sedih.
“Imron,
dihabiskan dulu makanannya! Baru tidur” Suruh bunda dari luar kamar. Hening, tak ada balasan dari kamar, imron sedang tak ingin
menjawab pertanyaan bunda.
Di ruang makan,
ayah dan bunda saling berpandangan melihat tingkah putranya yang tak seperti
biasanya. Ayah yang baru saja selesai makan, tak peduli dan langsung
bergegas-gegas untuk membersihkan diri.
Jarum jam
menunjukan 02.25, ayah yang memakai seragam hijau berlorek, tampak begitu
gagah dengan pakaiannya.
“Ayah langsung
pergi, nggak pamitan sama imron?” Ujar bunda saat menyalami ayah.
“Salam saja buat
imron, ayah minta ma’af nggak bisa nemenin imron sama bunda”
katanya buru-buru. Dikenakannya sepatu hitam yang telah disiapkan bunda di
teras rumah.
Dari dalam kamar,
imron yang saat itu mendengar suara deru mobil, berjalan mendekati jendela yang
berhadapan dengan teras rumah. Dari kejauhan, dilihatnya ayah mengendarai
kijang miliknya, meninggalkan bunda yang masih berdiri menyapanya.
Satu per satu, air
mata menjatuhi pipinya. Ia tumpahkan segala kepedihannya diatas tumpukan bantal
guling. Sampai akhirnya, ia tertidur dengan mata yang sembap.
**********
Adzan maghrib
berkumandang di salah satu masjid balai desa. Di rumahnya, imron telah
bersiap-siap melaksanakan sholat bersama ibunya. Dilaksanakan sholat maghrib
dengan penuh kekhusyukan, merasakan suasana senja yang mendampinginya, menyatu
dalam sholatnya.
“bunda, kenapa sih
ayah selalu saja pergi?” Tanya imron saat bundanya selesai membaca al-qur’an sehabis maghrib.
“Ayah kan seorang
tentara” Jelas bunda sambil menutup al-qur’annya.
“Apa sih tentara
itu?”
“tentara itu,
orang yang bertugas untuk melindungi Negara dari kekacauan yang terjadi” terang bunda.
“Apa harus jadi
tentara untuk melindungi negara?” tanya imron kemudian.
“Nggak, siapa bilang harus jadi tentara untuk
melindungi negara”
“terus, kenapa ayah
jadi tentara?” Tanya imron.
Dipeluknya bunda.yang masih duduk mengenakan mukena sholat. “Kalau ayah pergi
Kan imron nggak bisa main sama ayah” imron terisak.
Pelukannya semakin erat.
“Udah, jangan cengeng. Ayah nanti juga pulang kok” Hibur
bunda, dibelainya rambut imron.
“bunda janji kan,
ayah bakal pulang?” Tanyanya sesenggukan dalam pelukannya.
“ya, bunda janji.
Yang penting imron harus rajin berdo’a supaya ayah cepat pulang” jawab bunda
melepaskan pelukan imron. “makan dulu yuk, bunda udah bikin sup bayam kesukaan
imron, nanti keburu dingin lho” ajak bunda. Dilepasnya mukenanya dan diletakkan
di atas tumpukan sajadah, ia berjalan kearah dapur dengan diikuti imron di
belakangnya.
Di meja makan,
hanya terdengar piring yang berdentang- dentang, menemani detak- detak jarum
jam yang menambah kesunyian malam. Malam itu, imron santap makan malamnya tanpa
bernafsu, pikirannya kosong. Baginya, waktu terasa begitu panjang, dalam
penantian yang kan lama datang
**********
Dua minggu telah berlalu setelah kepergian
ayah. Siang itu, langit semakin panas. Di sekolahnya, bel tanda pelajaran berakhir berbunyi. Imron yang saat itu
masih dikelas, segera merapikan buku-bukunya untuk dimasukkan ke dalam tas.
Dalam pikirannya, masih terngiang-ngiang jawaban ustadz ilham pada saat
pelajaran PKN.
“Jadi,
semua yang berjuang untuk kepentingan bangsa itu pahlawan?” tanya imron saat
itu. Setelah mendengarkan penjelasan dari ustadz ilham
“tepat
sekali. Jadi, semua orang yang berkorban untuk kepentingan bangsanya disebut pahlawan”
Jawab ustadz ilham singkat.
“ustadz”
dibelakang seorang anak bernama budi mengacungkan jari. Ustadz ilham
menoleh.“kalau begitu, Apakah sekarang kita masih bisa jadi pahlawan?” Tanyanya
kemudian.
“bisa,
semua orang bisa jadi pahlawan. Tapi sekarang, pahlawan bukan berarti harus
perang. Selagi kalian masih belajar,
belajarlah yang sungguh- sungguh untuk
berbakti pada negeri ini. Karena, kalianlah harapan dari para pahlawan yang
telah mendahului kita, yang telah berkorban apapun untuk kemerdekaan ini” jelas
ustadz lham panjang lebar. kelas menjadi hening beberapa saat
“berarti, tentara juga pahlawan?” sela imron
tiba- tiba. Ustadz ilham mengangguk, ia melanjutkan,
“dan
kita, sebagai putra- putri bangsa. Jangan pernah melupakan sejarah, kita harus
bisa mengenang jasa- jasa yang telah dilakukan, mendo’akan mereka, serta selalu
mendukung bagi mereka yang saat ini sedang berjuang” Ujarnya terakhir sebelum
pergi meninggalkan kelas. Semua anak tertunduk, sampai mereka dikejutkan oleh
bel pulang sekolah.
Dari
samping sekolah, imron ambil sepeda kecilnya diantara sepeda- sepeda yang
berjajar rapi. Sembari menuntun sepedanya, ada rasa bersalah yang menyelinap di
hati imron. Harusnya ia tak perlu merasa sedih saat ayahnya pergi. Tapi, ialah
yang harusnya bangga. Karena ayahnya telah mengorbankan apapun untuk
kepentingan negara ini.
Diambilnya nafas dalam- dalam, dihembuskannya
lagi pelan- pelan seraya menaiki sepedanya. “ma’afkan imron, ayah” ungkapnya
berlalu pergi.
**********
Siang
ini tak seperti biasanya, imron melihat banyak orang datang ke rumahnya. Di
kanan kiri jalan, imron melihat bendera
kuning melambai- lambai. Ia pun mempercepat laju sepedanya.
Sesampainya
di rumah, ia melihat beberapa orang berseragam sama seperti ayahnya yang
berwarna hijau berlorek. Kata bundanya, itu merupakan seragam khusus tentara
seperti punya ayahnya. Sedangkan di pintu rumah, bunda telah berdiri menunggu
dirinya. Matanya sembap bekas air mata.
“Bunda,
kenapa banyak orang di rumah?” tanya imron setelah bertemu bundanya. Tanpa
menunggu, dipeluknya imron dalam dekapannya. “ayah” jawab bunda lirih.
“ayah
kenapa?” dilepasnya pelukan bunda. Tak ada jawaban. “bunda, ayah kenapa?” tanya
imron sekali lagi. Bunda tetap diam, hanya matanya yang sedikit demi sedikit
mengeluarkan air mata. Imron berlari menuju kamar ayah. Didapati ayahnya
berbaring di atas kasur, mukanya putih pucat dengan mata terpejam.
“ayah,
bangun ayah, ayah kenapa?” digoncangkan tubuh ayahnya berkali- kali, tetapi
tetap tak ada reaksi dari ayah. Bunda yang saat itu masuk kamar, langsung
dihampiri imron.
“bunda,
ayah nggak mau bangun” tangis imron
“ma’afkan
bunda sayang, ayah udah pergi menghadap Allah. Ayah meninggal pada saat melakukan dinas” ucap bunda dengan rasa bersalah. Ia juga
terisak sedih.
“nggak
mungkin” imron kembali menuju kasur. Digoncangkan tubuh ayahnya lagi,”ayah
bangun! Ayah jangan pergi,ayah janji kan kalau nanti pulang mau main sama
imron” dipandangi wajah ayahnya yang pucat. “imron minta ma’af udah manja sama
ayah bunda,. Imron janji, imron nggak akan manja sama ayah lagi. Tapi, ayah
jangan meninggal dulu. Ayah!” tangisnya sedih. Ia tumpahkan segala kesedihannya
di atas kasur itu.
Lama ia
terisak di samping jasad ayahnya. Sampai akhirnya, imron pun tertidur
disampingnya. Dalam mimpinya, ia bermimpi melihat ayahnya mengucapkan namanya
sesaat sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya.
**********
Hari
semakin cepat berlalu. Malam-malam telah terlewati oleh lantunan kalam suci
yang dibaca tetangga- tetangganya di rumahnya setiap habis maghrib. Malam itu,
adalah malam kelima sepeninggal ayahnya.
Bunda yang saat itu telah selesai
melaksanakan sholat ‘isya, dikejutkan
pertanyaan imron.
“bunda”
panggilnya.
“ada apa?” jawab
bunda seraya membalikkan badan.
“Bunda, apa sekarang ayah bahagia disana?”
tanyanya setelah mencium tangan bunda.
“kenapa imron
tiba- tiba Tanya begitu?”
“Imron Cuma pengin lihat ayah bahagia. Selama
ini, imron selalu
saja buat ayah kecewa” ditundukkan kepalanya. Ia mengingat- ingat sesuatu, “Kata ustadz ilham, ayah itu pahlawan. Imron ingin jadi pahlawan
yang bisa mendo’akan ayah, supaya ayah bahagia di sana” ungkap imron
“imron bisa kok,
jadi seperti yang imron inginkan” jawab bunda.
“Bagaimana
caranya?” Tanya imron penasaran.
“dengan menghafal
al- qur’an” jawab bunda
singkat.
“apa kalau imron
hafal al- qur’an, imron bisa mendo’akan ayah?”
“bisa, malahan
imron juga bisa jadi pahlawan seperti ayah. Pahlawan islam” jawab bunda.
“tapi,
apa boleh imron hafal al- qur’an?” Harap imron. Ia lihat wajah bundanya yang
semakin tua dimakan usia.
“boleh
kok, ayah pasti bangga kalau tahu imron menghafal qur’an” dibelainya rambut
imron. “ya udah, kalau emang imron bener- bener mau, besok habis asar bunda
antarkan ke ustadz ilham di masjid kampung sebelah. Yang penting, sekarang
imron tidur dulu, supaya nggak kesiangan besok” suruh bunda sembari merapikan
sajadahnya.
“makasih
bunda. Imron janji, imron akan jadi pahlawan seperti yang bunda inginkan” janji
imron. Dipeluknya tubuh bundanya sekali lagi, tuk merasakan dekapan hangat
seorang ibu.
Kini,
tekad itu telah tertancap kuat di hati imron. Dalam tidurnya, ia berharap kan
bermimpi dalam angannya malam ini.
**********
Langit masih berwarna kelabu. Menurunkan
butir- butir rahmat- Nya kepada seluruh
makhluk- Nya di dunia. Di dalam masjid, imron lantunkan kalam- kalam
suci dengan seluruh kemampuannya, dengan bimbingan seorang ustadz yang
mendampinginya.
Sore itu, Seolah- olah menjadi saksi atas apa
yang telah ia tekadkan selama ini. Mungkin Suatu saat nanti, semua kan
terjawab. Atas apa yang telah ia lakukan selama ini.
By:
zifa
0 comments:
Post a Comment