Saturday, August 22, 2015

JIKA KUHAFAL AL QUR'AN



Mentari telah merangkak naik ke atas ubun-ubun. Di bawah teriknya matahari,jalanan telah berubah menjadi tempat yang padat oleh lalu lintas. Beberapa orang terlihat berjalan sambil mengenakan masker, sebagai pelindung dari polusi-polusi yang merajalela. Sebagian orang lain juga terlihat menunggu di bawah naungan halte bus kota, sambil meneduhkan diri diantara terik matahari yang menyengat. Memang, siang itu langit Riau terasa membara.
            Jam menunjukkan pukul 12.00 siang. Di seberang jalan, seorang anak berseragam sekolah MI putih keluar melalui gang sembari menuntun sebuah sepeda. Sebentar kemudian, dinaiki dan dipacunya sepeda itu melewati lautan kendaraan menuju perbatasan desa. Dimana  ia dan keluarganya tinggal di sebuah rumah beralaskan lantai berwarna putih dan didominasi oleh dinding yang berwarna hijau muda.
            Dari kejauhan, dilihatnya mobil kijang silver berhenti didepan rumahnya. “Ayah” Gumamnya dalam hati. Segera saja, dipacunya kencang-kencang sepeda kecilnya tanpa memperdulikan keringat yang membasahi tubuhnya. Dihempasnya sepeda itu tepat di belakang mobil tersebut. Ia pun berlari masuk ke dalam rumah
            “Ayah, ayah sudah pulang?” Teriaknya menghampiri seseorang yang duduk di sofa ruang keluarga, dipeluknya tubuh orang tersebut.
            “Eh Imron, tadi barusan jam sebelas ayah datang” Jelas ayah sambil mengangkat tubuh imron. Tiba-tiba, dari dalam dapur terdengar suara bunda “Imron, sholat dulu, sekalian ganti baju terus makan!”
            “Ayah sudah sholat?” tanya imron.
            “Alhamdulillah sudah tadi” jawab ayah
            “Ya udah, imron sholat dulu ya, yah” Kemudian diambilnya air wudhu di pancuran dekat dapur. Ia gantungkan baju sekolahnya dibalik pintu kamarnya
             Dengan wajah polosnya, ia laksanakan sholat dzuhur dengan segenap kemampuannya. Dalam hati, ia bersyukur ayahnya dapat kembali berkumpul bersamanya. Karena selama ini, yang ia tahu, ayahnya sering bepergian ke luar daerah dengan mengenakan pakaian loreng berbatik, dan hanya pulang untuk beberapa saat. Tapi, mulai hari ini imron berharap ayahnya tak akan pergi lagi, sehingga ia dapat terus bersama ayahnya.

                                                            **********
            “Ayah ditugaskan lagi di daerah kalimantan, tepatnya di daerah pontianak”  Ayah memulai percakapan dalam makan siang kami.
            “Jadi kapan akan berangkat lagi?” Tanya bunda
            “nanti sekitar jam setengah dua”. Imron yang pada saat itu makan, ikut mendengarkan percakapan antara ayah dan bundanya. Ia langsung memotong “Ayah mau pergi lagi? Kita kan baru ketemu tadi, masak harus pergi lagi?”.
            “Imron sayang, ayah cuma pergi sebentar, Cuma dua bulan kok” Terang bunda pada imron.
            “Tapi kan dua bulan itu lama” Sanggah imron
            “Ya sudah kalau begitu, imron mau minta apa? Nanti ayah belikan” Ayah mencoba untuk memberikan pengertian.
            “Nggak mau, Imron nggak mau tahu, pokoknya ayah nggak boleh pergi lagi!” Ditinggalkan piringnya yang masih tersisa makanan. Ia berlari menuju kamarnya, Dihantamkan tubuhnya ke dalam bentangan kasur, ia terisak sedih.
            “Imron, dihabiskan dulu makanannya! Baru tidur” Suruh bunda dari luar kamar. Hening, tak ada balasan dari kamar, imron sedang tak ingin menjawab pertanyaan bunda.
            Di ruang makan, ayah dan bunda saling berpandangan melihat tingkah putranya yang tak seperti biasanya. Ayah yang baru saja selesai makan, tak peduli dan langsung bergegas-gegas untuk membersihkan diri.
            Jarum jam menunjukan 02.25, ayah yang memakai seragam hijau berlorek, tampak begitu gagah  dengan pakaiannya.
            “Ayah langsung pergi, nggak pamitan sama imron?” Ujar bunda saat menyalami ayah.
            “Salam saja buat imron, ayah minta ma’af nggak bisa nemenin imron sama bunda” katanya buru-buru. Dikenakannya sepatu hitam yang telah disiapkan bunda di teras rumah.
            Dari dalam kamar, imron yang saat itu mendengar suara deru mobil, berjalan mendekati jendela yang berhadapan dengan teras rumah. Dari kejauhan, dilihatnya ayah mengendarai kijang miliknya, meninggalkan bunda yang masih berdiri menyapanya.
            Satu per satu, air mata menjatuhi pipinya. Ia tumpahkan segala kepedihannya diatas tumpukan bantal guling. Sampai akhirnya, ia tertidur dengan mata yang sembap.

**********   
            Adzan maghrib berkumandang di salah satu masjid balai desa. Di rumahnya, imron telah bersiap-siap melaksanakan sholat bersama ibunya. Dilaksanakan sholat maghrib dengan penuh kekhusyukan, merasakan suasana senja yang mendampinginya, menyatu dalam sholatnya.
            “bunda, kenapa sih ayah selalu saja pergi?” Tanya imron saat bundanya selesai membaca al-qur’an sehabis maghrib.
            “Ayah kan seorang tentara” Jelas bunda sambil menutup al-qur’annya.
            “Apa sih tentara itu?”
            “tentara itu, orang yang bertugas untuk melindungi Negara dari kekacauan yang terjadi” terang bunda.  
            “Apa harus jadi tentara untuk melindungi negara?” tanya imron kemudian.
            Nggak, siapa bilang harus jadi tentara untuk melindungi negara
            “terus, kenapa ayah jadi tentara?” Tanya imron. Dipeluknya bunda.yang masih duduk mengenakan mukena sholat. “Kalau ayah pergi Kan imron nggak bisa main sama ayah” imron terisak. Pelukannya semakin erat.
            “Udah, jangan cengeng. Ayah nanti juga pulang kok” Hibur bunda, dibelainya rambut imron.
            “bunda janji kan, ayah bakal pulang?” Tanyanya sesenggukan dalam pelukannya.
            “ya, bunda janji. Yang penting imron harus rajin berdo’a supaya ayah cepat pulang” jawab bunda melepaskan pelukan imron. “makan dulu yuk, bunda udah bikin sup bayam kesukaan imron, nanti keburu dingin lho” ajak bunda. Dilepasnya mukenanya dan diletakkan di atas tumpukan sajadah, ia berjalan kearah dapur dengan diikuti imron di belakangnya.
            Di meja makan, hanya terdengar piring yang berdentang- dentang, menemani detak- detak jarum jam yang menambah kesunyian malam. Malam itu, imron santap makan malamnya tanpa bernafsu, pikirannya kosong. Baginya, waktu terasa begitu panjang, dalam penantian yang kan lama datang

**********
            Dua minggu telah berlalu setelah kepergian ayah. Siang itu, langit semakin panas. Di sekolahnya, bel tanda pelajaran berakhir berbunyi. Imron yang saat itu masih dikelas, segera merapikan buku-bukunya untuk dimasukkan ke dalam tas. Dalam pikirannya, masih terngiang-ngiang jawaban ustadz ilham pada saat pelajaran PKN.
            “Jadi, semua yang berjuang untuk kepentingan bangsa itu pahlawan?” tanya imron saat itu. Setelah mendengarkan penjelasan dari ustadz ilham
            “tepat sekali. Jadi, semua orang yang berkorban untuk kepentingan bangsanya disebut pahlawan” Jawab ustadz ilham singkat.
            “ustadz” dibelakang seorang anak bernama budi mengacungkan jari. Ustadz ilham menoleh.“kalau begitu, Apakah sekarang kita masih bisa jadi pahlawan?” Tanyanya kemudian.
            “bisa, semua orang bisa jadi pahlawan. Tapi sekarang, pahlawan bukan berarti harus perang.  Selagi kalian masih belajar, belajarlah  yang sungguh- sungguh untuk berbakti pada negeri ini. Karena, kalianlah harapan dari para pahlawan yang telah mendahului kita, yang telah berkorban apapun untuk kemerdekaan ini” jelas ustadz lham panjang lebar. kelas menjadi hening beberapa saat
“berarti, tentara juga pahlawan?” sela imron tiba- tiba. Ustadz ilham mengangguk, ia melanjutkan,
            “dan kita, sebagai putra- putri bangsa. Jangan pernah melupakan sejarah, kita harus bisa mengenang jasa- jasa yang telah dilakukan, mendo’akan mereka, serta selalu mendukung bagi mereka yang saat ini sedang berjuang” Ujarnya terakhir sebelum pergi meninggalkan kelas. Semua anak tertunduk, sampai mereka dikejutkan oleh bel pulang sekolah.
            Dari samping sekolah, imron ambil sepeda kecilnya diantara sepeda- sepeda yang berjajar rapi. Sembari menuntun sepedanya, ada rasa bersalah yang menyelinap di hati imron. Harusnya ia tak perlu merasa sedih saat ayahnya pergi. Tapi, ialah yang harusnya bangga. Karena ayahnya telah mengorbankan apapun untuk kepentingan negara ini.
Diambilnya nafas dalam- dalam, dihembuskannya lagi pelan- pelan seraya menaiki sepedanya. “ma’afkan imron, ayah” ungkapnya berlalu pergi.
                                                            **********
            Siang ini tak seperti biasanya, imron melihat banyak orang datang ke rumahnya. Di kanan  kiri jalan, imron melihat bendera kuning melambai- lambai. Ia pun mempercepat laju sepedanya.
            Sesampainya di rumah, ia melihat beberapa orang berseragam sama seperti ayahnya yang berwarna hijau berlorek. Kata bundanya, itu merupakan seragam khusus tentara seperti punya ayahnya. Sedangkan di pintu rumah, bunda telah berdiri menunggu dirinya. Matanya sembap bekas air mata.
            “Bunda, kenapa banyak orang di rumah?” tanya imron setelah bertemu bundanya. Tanpa menunggu, dipeluknya imron dalam dekapannya. “ayah” jawab bunda lirih.
            “ayah kenapa?” dilepasnya pelukan bunda. Tak ada jawaban. “bunda, ayah kenapa?” tanya imron sekali lagi. Bunda tetap diam, hanya matanya yang sedikit demi sedikit mengeluarkan air mata. Imron berlari menuju kamar ayah. Didapati ayahnya berbaring di atas kasur, mukanya putih pucat dengan mata terpejam.
            “ayah, bangun ayah, ayah kenapa?” digoncangkan tubuh ayahnya berkali- kali, tetapi tetap tak ada reaksi dari ayah. Bunda yang saat itu masuk kamar, langsung dihampiri imron.
            “bunda, ayah nggak mau bangun” tangis imron
            “ma’afkan bunda sayang, ayah udah pergi menghadap Allah. Ayah meninggal pada saat melakukan dinas” ucap bunda dengan rasa bersalah. Ia juga terisak sedih.
            “nggak mungkin” imron kembali menuju kasur. Digoncangkan tubuh ayahnya lagi,”ayah bangun! Ayah jangan pergi,ayah janji kan kalau nanti pulang mau main sama imron” dipandangi wajah ayahnya yang pucat. “imron minta ma’af udah manja sama ayah bunda,. Imron janji, imron nggak akan manja sama ayah lagi. Tapi, ayah jangan meninggal dulu. Ayah!” tangisnya sedih. Ia tumpahkan segala kesedihannya di atas kasur itu.
            Lama ia terisak di samping jasad ayahnya. Sampai akhirnya, imron pun tertidur disampingnya. Dalam mimpinya, ia bermimpi melihat ayahnya mengucapkan namanya sesaat sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya.

                                                            **********
            Hari semakin cepat berlalu. Malam-malam telah terlewati oleh lantunan kalam suci yang dibaca tetangga- tetangganya di rumahnya setiap habis maghrib. Malam itu, adalah malam kelima  sepeninggal ayahnya. Bunda yang saat itu telah selesai melaksanakan sholat ‘isya,  dikejutkan pertanyaan imron.
            “bunda” panggilnya.
            “ada apa?” jawab bunda seraya membalikkan badan. 
            “Bunda, apa sekarang ayah bahagia disana?” tanyanya setelah mencium tangan bunda.
            “kenapa imron tiba- tiba Tanya begitu?”
            Imron Cuma pengin lihat ayah bahagia. Selama ini, imron selalu saja buat ayah kecewa” ditundukkan kepalanya. Ia mengingat- ingat sesuatu, “Kata ustadz ilham, ayah itu pahlawan. Imron ingin jadi pahlawan yang bisa mendo’akan ayah, supaya ayah bahagia di sana” ungkap imron
            “imron bisa kok, jadi seperti yang imron inginkan” jawab bunda.
            “Bagaimana caranya?” Tanya imron penasaran.
            “dengan menghafal al- qur’an” jawab bunda singkat.
            “apa kalau imron hafal al- qur’an, imron bisa mendo’akan ayah?”
            “bisa, malahan imron juga bisa jadi pahlawan seperti ayah. Pahlawan islam” jawab bunda.
            “tapi, apa boleh imron hafal al- qur’an?” Harap imron. Ia lihat wajah bundanya yang semakin tua dimakan usia.
            “boleh kok, ayah pasti bangga kalau tahu imron menghafal qur’an” dibelainya rambut imron. “ya udah, kalau emang imron bener- bener mau, besok habis asar bunda antarkan ke ustadz ilham di masjid kampung sebelah. Yang penting, sekarang imron tidur dulu, supaya nggak kesiangan besok” suruh bunda sembari merapikan sajadahnya.
            “makasih bunda. Imron janji, imron akan jadi pahlawan seperti yang bunda inginkan” janji imron. Dipeluknya tubuh bundanya sekali lagi, tuk merasakan dekapan hangat seorang ibu.
            Kini, tekad itu telah tertancap kuat di hati imron. Dalam tidurnya, ia berharap kan bermimpi dalam angannya malam ini.

                                                            **********
Langit masih berwarna kelabu. Menurunkan butir- butir rahmat- Nya kepada seluruh  makhluk- Nya di dunia. Di dalam masjid, imron lantunkan kalam- kalam suci dengan seluruh kemampuannya, dengan bimbingan seorang ustadz yang mendampinginya.
Sore itu, Seolah- olah menjadi saksi atas apa yang telah ia tekadkan selama ini. Mungkin Suatu saat nanti, semua kan terjawab. Atas apa yang telah ia lakukan selama ini.

                                                                                                            By: zifa

0 comments:

Post a Comment